Otoriter Pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto

Tinggalkan komentar

Mei 4, 2021 oleh sivuun

Dampak kebijakan politik dan ekonomi pada masa orde baru.

Pendekatan di lini keamanan pada pemerintahan orde baru untuk menegakkan stabilitas nasional secara umum sangat berhasil menciptakan rasa aman di kalangan masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi pun juga berjalan sangat baik yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai akibat dari program yang matang, terencana, dan kongkret dari pemerintahan. Indonesia juga mampu mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa dengan swasembada beras (memenuhi kebutuhan berasnya sendiri). Diikuti juga dengan penurunan angka kemiskinan dengan cara perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan prosentase kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang terus meningkat.

Disisi lain, kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan orde baru juga memberi dampak lainya, baik di bidang ekonomi maupun bidang politik. Di bidang politik, pemerintah orde baru cenderung otoriter, dimana Presiden memegang kendali penuh atas kekuasaan dan jalannya pemerintahan. Kuatnya peran negara menimbulkan pemerintahan yang sentralis yang ditandai dengan pemusatan penentuan kebijakan politik di pemerintahan pusat. Pemerintah daerah hanya diberi ruang yang sedikit untuk mengatur dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme ini masuk dan menyebar di seluruh aspek kehidupan bermasyarakan, berbangsa, dan bernegara.

Pemerintah orde baru dinilai gagal dalam menciptakan demokrasi yang baik, Golkar hanya sebagai alat politik untuk mencapai stabilitas politik, sementara dua partai lainya hanya sebagai pemanis agar tercipta citra negara demokrasi. Sistem perwakilan yang semu dan dianggap hanya sebagai topeng untuk menciptakan kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi didasarkan pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sehingga wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR sebagian besar tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.

Meskipun pembangunan ekonomi orde baru sangat sukses, namun juga mempunyai dampak negatif yang cukup banyak. Karena terlalu fokus dan mengejar pada pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak buruk pada mentalitas dan budaya korupsi pejabat tinggi negara. Distribusi hasil pembanguna dan pemanfaatan dana tidak di iringi dengan kontrol yang efektif dari pemerintah sehingga rawan disalahgunakan. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi tidak di iringi dengan distribusi yang merata dari sumber-sumber ekonomi ke masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan sosial di masyarakat, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, bahkan kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.

Selain masalah di atas, para pengamat HAM juga menilai pemerintahan orde baru melakukan tindakan antidemokrasi dan di indikasi telah melanggar HAM. Amnesti Internasional dalam laporannya pada 20 Juli 1991 menyebutkan Indonesia dan beberapa negara lainnya sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 juga menempatkan Indonesia di urutan ke 77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).

Meskipun Indonesia menolak kedua laporan lembaga Internasional karena dianggap tidak fair dan kriteria yang tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dihindari bahwa pemerintahan orde baru telah melakukan tindakan yang terindikasi melanggar HAM.

Dalam kurun  waktu 1969-1983,

  1. Peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang yang terlibat PKI) 1969-1979.
  2. Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berbuntut pada depolitisasi kampus.
  3. Pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980).

Pada kurun waktu 1983-1988,

  1. Penembak Misterius – Petrus pada Juli 1983.
  2. Peristiwa Tanjung Priok pada September 1984.

Pada kurun waktu 1988-1993,

  1. Peristiwa  Warsidi pada Februari 1989.
  2. Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998).
  3. Santa Cruz pada November 1991.
  4. Marsinah pada Mei 1993.
  5. Haur Koneng pada Juli 1993.
  6. Peristiwa Nipah pada September 1993.

Dalam kurun waktu 1993-1998,

  1. Peristiwa Jenggawah ada Januari 1996.
  2. Padang Bulan pada Februari 1996.
  3. Freeport pada Maret 1996.
  4. Abepura pada Maret 1996.
  5. Kerusuhan Situbondo pada Oktober 1996.
  6. Dukun Santet Banyuwangi pada tahun 1998.
  7. Tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.

Dengan situasi politik dan ekonomi diatas, yaitu pemerintah orde baru berhasilan meningkatkan pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan, diantaranya adalah berhasil meningkatkan GNP Indonesia ke tingkat US$ 600 di tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1300 diawal dekade 1990-an, serta menobatkan  Presiden Soeharto sebagai “ Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna lagi kala itu. Karena walaupun pertumbuhan ekonomi meningkat tetapi pembangunan  tidak merata di beberapa wilayah seperti Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Inilah yang kemudian menjadi faktor utama penyebap hancurnya perekonomian Indonesia (Krisis Moneter) di akhir tahun 1997.

Tinggalkan komentar

Kategori

Arsip Post