Kondisi Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Baru

Tinggalkan komentar

April 27, 2021 oleh sivuun

Pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat melalui 3 program yang digagas, yaitu pembangunan Sekolah Dasar Inpres (SD Impres), program Wajib Belajar, dan pembentukan kelompok belajar (Kejar). Hal ini bertujuan untuk memperluas dan mengembangkan kesempatan belajar baik di pelosok desa maupun di perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Lalu pada tahun 1973, Seoharto mengeluarkan Inpres No.10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tahap awal pelaksanaan program SD Inpres adalah membangun 6.000 gedung SD yang masing-masing mempunyai tiga kelas. Sumber dana yang digunakan untuk pembangunan SD Impres adalah dari penjualan minyak bumi yang pada saat itu harganya naik 300% dari harga sebelumnya.

Pada awal pelaksanaan program Pembangunan SD impres, dalam waktu setahun hampir ribuan gedung telah dibangun. Sebelum program Repelita I dilaksanakan, pada tahun1968 tercatat sebanyak 60.023 unit gedung SD dibangun dan gedung SMP 5.897 unit gedung. Bahkan pada Repelita VI, jumlah gedung yang dibagun meningkat drastis yaitu 150.000 unit gedung SD dan 20.000 unit gedung SMP.

Peningkatan jumlah gedung SD dan SMP juga harus diiringi oleh peningkatan jumlah guru. Sebelumnya jumlah guru SD hanya berkisar ratusan ribu, namun setelah tahun 1994 jumlahnya menjadi lebih dari satu juta guru. Peningkatan jumlah guru juga terjadi pada guru SMP yang awalnya puluhan ribu menjadi ratusan ribu jumlahnya. Semua guru-guru dari SD sampai SMP ditempatkan di seluruh sekolah-sekolah impres tersebut. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir PJP I (Pembangunan Jangka Panjang I) adalah hampir mencapai Rp 6.5 Triliun.

Di era Soeharto, program wajib belajar mulai dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1984 di akhir Pelita III (Pembangunan Lima Tahun III). Ketika sambutan peresmian program wajib belajar, Soeharto menyampaikan bahwa tujuan dari kebijakan yang dibuatnya adalah untuk memberi kesempatan yang adil bagi seluruh anak-anak di Indonesia yang berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar. Program wajib belajar itu mewajibkan kepada setiap anak berusia 7-12 tahun untuk mendapatkan program pendidikan SD 6 tahun.

Sejatinya program ini tidak ada unsur paksaan dan sanksi bagi yang tidak melaksanakannya, tetapi pemerintah menghimbau agar para orang tua yang mempunyai anak usia 7-12 tahun untuk memasukkan kedalam program pendidikan sekolah dasar (SD). Negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana yang dibutuhkan seperti gedung, sekolah, peraatan sekolah dan tenaga pengajar. Meskipun program wajib belajar tidak di iringi oleh pembebasan biaya pendidikan bagi yang kurang mampu, namun pemerintah berupaya melalui program beasiswa Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA).

Untuk memperkuat upaya pelaksanaan GN-OTA, maka diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama No.34/HUK/1996, No.88/1996, No.0129/U/1996, No.195/1996 tentang Bantuan kepada Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Keberhasilan program wajib belajar 6 tahun dapat dilihat dari naiknya angka partisipasi sekolah dasar sebesar 1,4 persen dan menjadi 89,91 persen diakhir Pelita IV. Dengan hasil tersebut pemerintah berniat untuk meningkatkan usia program wajib belajar menjadi 7-15 tahun atau hingga sekolah tingkat pertama (SMP). Sepuluh tahun kemudian, program wajib belajar berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang artinya anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga Sekolah Tingkat Pertama (SMP). Kebijakan tersebut diresmikan pada tanggal 2 Mei 1994.

Dengan adanya program wajib belajar 9 tahun sontak taraf pendidikan masyarakat Indonesia meningkat. Fokus pembangunan pendidikan pada saat itu adalah peningkatan kuantitatif baru kemudian meperhatikan kualitas dan muntunya. Setelah itu sasaran pembangunan pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Cara yang ditempuh adalah membentuk kelompok belajar (Kejar).

Program Kejar merupakan pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf usia 10-45 tahun. Pembimbing setiap kelompok adalah masyarakat yang mampu membaca, menulis dan berhitung minimal mengenyam sekolah dasar. Keberhasilan program kejar dapat dilihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Sensus pada tahun 1971 dari jumlah penduduk total 80 juta jiwa, masih ada 39,1 persen penduduk yang buta huruf. Sensus tahun 1980 prosentase menurun menjadi 28,8 persen. Hingga berikutnya tahun 1990 angkanya menyusut menjadi 15,9 persen.

Tinggalkan komentar

Kategori

Arsip Post